“.. Agar kamu merasa tentram kepadanya.” (Ar-Ruum: 21).
Di dalam ayat di atas, terkandung isyarat
bahwa wanita harus menjadi pelabuhan ketentraman, kedamaian dan rasa
aman bagi kaum laki-laki. Ini merupakan tugas fitrah bagi wanita dalam
kehidupan yang dipenuhi oleh berbagai kesulitan.
Ummul Mukminin, Khadijah ra. adalah
teladan nomor satu dalam masalah ini. Pada saat Rasulullah saw.
mengalami ketegangan, ia meringankan beban perasaan beliau. Dia
menyejukkan hati dan menghibur beliau seraya berkata, “Demi Allah,
Allah tidak akan pernah menghinamu, karena sungguh engkau telah
menyambung silaturrahmi, menanggung orang yang kesulitan, menutup
keperluan orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong setiap
upaya menegakkan kebenaran.” Ali ra. pun turut menyumbangkan nasehat kepada pasangan suami istri, “Hiburlah hati dari waktu ke waktu yang lain, sebab jika hati itu dibuat menjadi benci, maka ia akan menjadi buta.”
Sesungguhnya inilah yang diinginkan oleh
suami mana pun; yaitu mendapatkan ketenangan dan penghibur hati dari
istrinya, sehingga mendapatkan dalam keluarganya ‘rumahku surgaku‘.
Syaikh Abdul Halim Hamid mengatakan, bahwa sesungguhnya Allah
menjadikan istri sebagai tempat berteduh, agar suami tenang dan tenteram
di haribaannya. Cinta yang ditunjukkan kepada suami dengan hati nan
lembut penuh kasih sayang akan segera melenyapkan segala perasaan kusut,
penat dan letih, setelah bergulat dengan gelombang kehidupan yang
keras. Setiap orang memang ingin mempunyai teman yang bersedia mendengar
dan berbagi rasa dengannya. Terma-suk suami kita. Wajarlah jika suami
menghendaki keluarga adalah tempat untuk menghibur hatinya, melegakan
hatinya. Demikian itu akan didapat jika seorang wanita shalihah memahami
hal tersebut. “Sebaliknya, adalah sangat dicela istri-istri yang tidak
pandai menghibur suami. Rasulullah saw. bersabda, “Siapapun wanita yang
cemberut di hadapan suaminya, maka ia akan dimurkai Allah sampai ia
dapat menimbulkan senyuman suaminya dan meminta ridhanya.” Dalam riwayat
lain disebutkan, “Siapapun wanita yang durhaka di hadapan suaminya,
melainkan ia akan bangkit dari kuburnya dengan mukanya yang berubah
menjadi hitam.”
Contoh Kisah Istri dalam Menghibur Suami
Ketika putra Abu Thalhah ra. wafat, maka
berkata Ummu Sulaim rah.a kepada keluarganya: “Jangan kalian memberitahu
Abu Thalhah tentang anaknya, hingga aku sendiri yang menceritakannya.”
Datanglah Abu Thalhah pada saat berbuka puasa. Lalu ia berbuka. Kemudian
Ummu Sulaim berdandan dengan sangat cantik, yang tidak pernah ia
lakukan sebelumnya. Tertariklah Abu Thalhah dan terjadilah hubungan
suami istri pada malam itu. Ketika istrinya merasa bahwa Abu Thalhah
telah puas, ia berkata, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika ada
suatu kaum meminjamkan barang kepada kaum yang lain, ketika kaum
tersebut ingin meminta barangnya kembali, adakah yang dipinjami berhak
menghalangi?” Jawab Abu Thalhah ra., ‘Tidak.” Ummu Sulaim ra. berkata,
“Maka mohonlah pahala dari Allah untuk anakmu.” Maka marahlah Abu
Thalhah seraya berkata, “Apakah engkau membiarkanku, sehingga aku sudah
kotor (junub) baru engkau kabarkan tentang anakku?”
Abu Thalhah segera
menghadap Nabi saw. memberitahukan apa yang telah terjadi. Nabi saw.
bersabda, “Semoga Allah memberkati malam kalian berdua.” Maka hamillah
Ummu Sulaim. Kemudian ia melahirkan bayinya. Ketika pagi tiba, bayi itu
dibawa oleh Ummu Sulaim kepada Nabi saw. dan Abu Thalhah menitipinya
beberapa buah kurma. Lalu Nabi saw. mengambil kurma itu dan
mengunyahnya, setelah itu kunyahan kurma dari mulut beliau dimasukkan ke
dalam mulut bayi dengan dioleskan ke seluruh rongganya lantas
memberinya nama Abdullah.” (Muttafaqun Alaih)
Fatimah binti Abdul Malik, istri khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Pada suatu saat ia masuk ke dalam kamarnya dan
mendapati suaminya sedang duduk di atas tikar shalatnya sambil menangis.
Ia bertanya kepada suaminya, “Mengapa engkau menangis seperti ini?”
Jawabnya, “Oh malangnya wahai Fatimah, aku diberi tugas mengurus umat
seperti ini. Yang senantiasa menjadi pikiranku adalah nasib si miskin
yang kelaparan, orang yang merintih kesakitan, orang yang terasing di
negeri ini, orang tawanan, orang tua renta, janda yang sendirian, orang
yang mempunyai tanggungan keluarga yang besar dengan penghasilan yang
kecil dan orang yang senasib dengan mereka di seluruh pelosok negeri
ini, baik di Timur maupun di Barat, Utara maupun Selatan. Aku tahu bahwa
Allah akan meminta pertanggung-jawaban dariku pada hari Kiamat,
sedangkan pembela.mereka yang menjadi lawanku kelak adalah Rasulullah
saw.. Aku betul-betul merasa takut tidak dapat mengemukakan jawaban di
hadapannya, itulah sebabnya aku menangis…..” Pada saat itulah Fatimah
.menghibur suaminya dengan penuh kasih sayang, walaupun sang suami
banyak menghabiskan waktunya untuk menunaikan kepentingan agama dan umat
dibandingkan untuk mengurus dirinya sendiri.
Etika mengingatkan suami
Rasulullah saw. bersabda, “Rahmat
Allah ke atas wanita yang bangun malam dan shalat, lalu membangunkan
suaminya dan ikut shalat. Apabila suaminya enggan, maka ia percikkan air
di mukanya.” (Ahmad, Abu Dawud) .
Allah berfirman, “Dan
orang-orang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah
dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah serta Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (At-Taubah : 71) .
Urusan saling mengingatkan adalah tugas
seluruh muslimin dan muslimat, siapapun mereka, lebih-lebih pasangan
suami istri. Syaikh Abdul Halim Hamid menulis bahwa salah satu kerja
sama yang sangat penting yang dianjurkan oleh Islam kepada suami-istri
muslim adalah kerja sama dalam jihad fi sabilillah, dakwah dan tabligh.
Seorang istri juga ikut memberikan masukan agama kepada suaminya.
Sebagaimana Hafsah rha. yang memberikan masukan kepada ayahnya, Amirul
Mukminin Umar ra. tentang beberapa lama batas kesabaran seorang wanita
ketika ditinggal oleh suaminya untuk berjihad di jalan Allah. Kita sudah
mengetahui ceritanya. Juga salah satu bentuk kerja sama yang indah
adalah bila seorang istri dapat mengingatkan kembali bahwa pertolongan
dan dukungan Allah selalu bersamanya.
Juga sebagaimana dalam perjanjian
Hudaibiyah, Ummu Salamah ra. ikut memberikan pendapatnya kepada suaminya
yaitu Rasulullah saw. demi kemaslahatan kaum muslimin. Sebaliknya,
jangan menjadi seperti istri Abu Lahab la’natullah alaiha yang ikut
memberikan usulan-usulan kepada suaminya dalam memusuhi Islam. Semoga
Allah swt. merahmati pasangan yang senantiasa bekerja sama saling
mengingatkan dalam urusan agama.
Jika usul istrinya baik dan diamalkan
oleh suami, maka pahala kebaikan tersebut akan mengalir kepadanya.
Sebaliknya, jika usul tersebut buruk untuk agama dan diamalkan oleh
suami, maka dosanya pun akan ditanggung berdua.
Beliau juga mensifati istri para sahabat
ra., yaitu dengan ungkapan: Mereka selalu mendorong suaminya untuk
keluar di jalan Allah menyambut seruan jihad. Sang istri melepaskannya
sambil memohon kepada Allah swt. agar suaminya diberi anugerah salah
satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid, sekalipun pada
waktu malam pengantin, malam milik mereka berdua, yang paling indah,
sebagaimana kisah Hanzhalah bin Abi Amir ra., sang syuhada yang
dimandikan oleh para malaikat, karena ia berangkat ke medan pertempuran
dalam keadaan junub.
Mereka, para istri sahabat, selalu
mengangkat moral suami dan menyirnakan kekhawatiran dirinya dan
anak-anaknya dengan menyebut sebuah ayat: “Allah adalah pelindung
orang-orang yang beriman.” “Allah adalah Pelindungku, Pelindungmu, dan
Pelindung anak-anak kita dan kita tidak memiliki kekuasaan atas urusan
kita. Allah telah menjaga saat-saat kepergianmu lebih ketat daripada
saat-saat engkau ada. Maka bertawakallah kepada Allah. Jangan sibukkan
benakmu memikirkan rezeki. Aku melihatmu sebagai tukang makan dan bukan
sebagai Pemberi rezeki. Maka bila si tukang makan tiada, sang Pemberi
rezeki akan tetap hidup.”
Jika suami keluar dari rumahnya, maka
istrinya atau anak perempuannya berkata kepadanya, “Hati-hatilah
terhadap usaha yang haram. Sesungguhnya kami sabar terhadap lapar dan
kesulitan dan kami tidak sabar terhadap neraka.”
Suami istri adalah da’i Allah swt.,
keduanya bertanggung jawab atas kehidupan agama dalam sebuah rumah
tangga khususnya dan umumnya di seluruh alam ini. Wanita shalihah
senantiasa siap memperingatkan suami apabila ia lalai menafkahi istri
dan keluarganya dengan nafkah agama, karena memberi nafkah agama kepada
keluarga pun adalah kewajiban seorang kepala keluarga. Jika istri
membiarkan kejelekan berkeliaran dalam rumah tangganya, maka berarti
telah membiarkan penyakit menular dan berbahaya bertebaran di dalam
rumah tangganya.
Suatu ketika Nabi saw. bertanya kepada Ali ra., “Bagaimanakah engkau mendapati pasanganmu?” Ali ra. menjawab, “Aku mendapati Fatimah sebagai pendorong yang terbaik dalam menyembah Allah.” Nabi saw. pun bertanya kepada Fatimah ra. tentang Ali, ia menjawab, “Dia adalah suami yang terbaik.“
Dalam kitab Shifatush Shajwah, dinukilkan
bahwa Abu Ja’far As-Sa’ih berkata, “Ada berita yang sampai kepada kami,
bahwa ada seorang wanita yang selalu rajin mengerjakan shalat-shalat
sunnah, berkata kepada suaminya, “Celaka engkau! Bangunlah, sampai kapan
engkau tidur saja? sampai kapan engkau dalam keadaan lalai? Aku akan
bersumpah demi engkau. Janganlah mencari penghasilan kecuali dengan cara
yang halal. Dan aku akan bersumpah demi engkau, janganlah masuk neraka
hanya karena diriku. Berbuat baiklah kepada ibumu, sambunglah
silaturahmi, janganlah memutuskan tali persaudaraan dengan mereka,
sehingga Allah akan memutuskan dengan dirimu.”